Ditulis oleh : Heru Purbo Kuntono, Dipl. PT, M.Kes
ABSTRAK
Meskipun mekanisme secara nyata belum jelas, system saraf secara kontinyu beradaptasi terhadapstimulasi lingkungan, reorganisasi ini disebut “neural plasticity”. Sistem saraf perifer atau system saraf pusat (SSP) mempunyai kemampuan yang sangat progres untuk penyembuhan dari cedera / injury melalui proses “collateral suprouting” dan reklamasi sinaps atau “ synaptic reclamation”. Perbaikan spontan secara kompleks merupakan suatu pengecualian dari aturan presentasi yang bermakna dari trauma sistem saraf. Neural plasticity merupakan hal yang penting untuk mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi.
Stimulasi saraf pada suatu otot melaui saraf perifer menunjukkan peningkatan neuromuskuler plastisitas secara adekuat. Stimulasi elektris juga merangsang otot berkontraksi, pada penjumlahan kontrksi otot secara langsung, akan mempengaruhi aktivitas afferent dari muscle spindle dan golgi tendon yang akan memberikan informasi terhadap system saraf pusat untuk sistem fasilitasi dan inhibisi. Selama itu stimulasi elektris juga akan memberikan fasilitasi dan reedukasi terhadap kontraksi otot yang akan diinduksikan ke sistem saraf pusat sehingga mempengaruhi neural plasticity terutama pada stadium recovery pada cedera sistem saraf pusat (SSP). Pada stroke (CVA) dengan spastisitas elektrikal stimulasi akan mengurangi spastisitas melalui mekanisme “reciprocal inhibition”.
PENDAHULUAN
Penderita stroke mempunyai hubungan bermakna terhadap reorganisasi yang disebut neural plasticity dalam proses perbaikan system sarafnya. Disamping itu penderita stroke akan mengalami gangguan fungsi motorik, sensorik, kognitif dan psikiatrik (emosional).
Intervensi penyembuhan saraf penderita stroke harus juga ditangani secara menyeluruh sejak fase awal hinga fase penyembuhan. Tindakan meliputi pendekatan fisik (physial therapy), pendekatan medis (perawatan dan obat-obatan) dan pendekatan psikiatrik. Pendekatan fisik dengan segala aspek kapasitas fisik dan kemampuan fungsional penderita stroke merupakan salah satu topik yang menjadi perhatian pada dekade akhir-akhir ini.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang (1) neural plasticity yang mendasari perkembangan sensorik dan motorik dalam penyembuhan fungsional dan (2) intervensi stimulasi elektris dalam upaya mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi serta mengontrol spastisitasnya.
NEURAL PLASTICITY
Proses perbaikan pada penderita stroke banyak diselidiki para ahli. Pada fase primer awal perbaikan fungsional neurology berupa perbaikan lesi primer oleh penyerapan kembali edema di otak dan membaiknya sistem vaskularisasi. Dalam beberapa waktu kemudian berlanjut ke perbaikan fungsi aksonal atau aktivasi sinaps yang tidak efektif.Pada penderita stroke, perbaikan fungsi neuron berlangsung kurang lebih dalam waktu satu tahun. Prediksi perbaikan ini sangat tergantung dari luasnya defisit neurologis awal, perkembangan tensi, ukuran dan topis lesi di otak, serta keadaan sebelumnya. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh usia, nutrisi dan tindakan terapi (physical therapy) yang juga merupakan faktor yang menentukan dalam proses perbaikan.
REORGANISASI DARI FUNGSI
Kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang mengalami cedera / kerusakan disebut neural plasticity. Kemampuan otak beradaptasi untuk memperbaiki, mengatasi perubahan lingkungannya ( bahaya-bahaya) melalui penyatuan neural kembali dikelompokkan menjadi:
a.Suprouting (collateral suprouting)
Merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cedera dari sel-sel yang utuh ke daerah yang denervasi setelah cedera. Perbaikan fungsi SSP dapat berlangsung beberapa bulan ataun tahun setelah cedera dan dapat terjadi secara luas di otak pada daerah septal nucleus, hipokampus, dan system saraf tepi.
b.Unmasking
Dalam keadaan normal, banyak akson dan sinaps yang tidak aktif. Apabila jalur utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson dan sinaps yang tidak aktif tadi. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai treshold yang sangat tinggi. Karena mempunyai mekanisme homeostatic. Dimana penurunan masukan akan menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya
c.Diachisia (Dissipation of diachisia)
Keadan ini dimana didapat kehilangan keseimbangan fungsi atau adanya hambatan fungsi dari traktus-traktus central di otak.
Perbaikan fungsi setelah penyembuhan akan didapatkan melaui dua cara yang harus dipikirkan yaitu:
1.Latihan gerak / Stimulasi elektris untuk mempengaruhi fasilitasi dan mendidik kembali fungsi otot serta aplikasi fasilitasi terhadap sisi anggota yang lesi.
2.Latihan/ stimulasi elektris untuk mempengaruhi gerak kompensasi sebagai pengganti daerah yang lesi
3.Stimulasi elektris mengontrol spastisitas.
Pada fase penyembuhan ini latihan atau stimulasi elektris sangat berpengaruh dalam derajat maupun kecepatan perbaikan fungsi . Stimulasi sedini mungkin yang dilakukan secara berulang – ulang akan menjadi gerak yang terkontrol/ terkendali.
COUNTER BALANCE DAN COUNTER ACTIVITY
Rotasi trunk
Mobilitas ekstrimitas
Pola jalan
Spastisitas
Mekanisme reflek postural normal
Counter balance dan counter activity akan mempengaruhi tonus pada ekstensor trunk (erector spine) dan gluteus maksimus sehingga menghambat rotasi trunk, pola jalan, meningkatkan spastisitas dan pola sinergis.
Mekanisme reflek postural normal selalu digunakan untuk mengontrol tonus.
INTERVENSI STIMULASI ELEKTRIS
a. Muscle re-education and fascilitation
Stimulasi elektris pada prisipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi tendon dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan diinformasikan melalui afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi.
-Rangsangan elektris yang diulang – ulang akan memberikan informasi ke “ supra spinal mechanism” sehingga terjadi pola gerak terintegrasi dan menjadi gerakan – gerakan pola fungsional .
-Stimulasi elektris melalui saraf motorik perifir melatih fungsi tangan “ graps” dan “ release” serta dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam melakukan gerakan.
-Pada kondisi CVA spastik stimulus elektris menurunkan spastisitas melalui mekanisme “ resiprocal inhibition “.
Penelitian Gersh (1991) menjelaskan bahwa stimulus elektris pada otot deltoid dengan menggunakan IDC pada waktu 3 bulan pada CVA selama stadium flacid sampai recovery mampu mengembalikan caput humeri yang mengalami luxasio
b. Orthotic Substitution pada aktivitas kontraksi otot agonis akan membentuk relaksasi pada otot antagonis.
Stimulasi elektris yang diaplikasikan pada gerakan dorsi fleksi ankle akan memberikan fasilitasi kontraksi dengan memperbaiki pola jalan (gait training) selama swing phase (fase ayunan).
Fasilitasi regio gluteal dan otot kuadriseps akan membentu memberikan stabilisasi selama fase “stance” dari gait dan juga pada group plantar flexor ankle dan hamstring akan memfasilitasi push off sehingga akan lebih baik pola jalannya terutama pada penderita post CVA.
PENATALAKSANAAN
1.Aplikasi antagonis
Pemberian stimulasi elektris ditujukan pada kelompok antagonis , bertujuan melawan otot agonis yang potensial menjadi spastik.
Stimulus antagonis pada stadium awal akan bermanfaat untuk fasilitasi kontraksi dan menghambat pola sinergis yang dapat mengganggu pola gerak. Jenis alat listrik yang digunakan interrupted direct current, interferensi dan TENS.
Dosis pemberian stimulasi 15 – 20 per-menit dengan frekuensi setiap hari minimal 3 minggu.
Pada kondisi yang sudah memasuki stadium recovery dengan gejala spastisitas kuat maka , pemberian stimulus elektris harus dibarengi dengan posisioning pasien secara benar .
2.Aplikasi agonis
Pelaksanaan stimulus elektris pada kelompok agonis bertujuan untuk mencapai target kontraksi secara optimal sehingga otot akan mengalami relaksasi setelah target tepenuhi. Pada metode ini dapat juga digunakan untuk tujuan reposisi pada sendi yang mengalami subluksasi, sehingga dengan kontraksi otot yang dapat mulai memberikan gaya untuk menarik posisi sendi ke arah yang semestinya. Sebagai contoh adalah subluksasi kaput humeri terhadap cavitas glenoidalis yang sering dijumpai pada pasien pasca CVA.
Jenis arus listrik yang digunakan adalah yang bersifat progressive dengan kontraksi tetanik , misalnya arus faradic , IDC dan DIADYNAMIS.
3.Sensory habituation
Teori ini menjelaskan bahwa spastisitas oleh karena adanya mekanisme terlepasnya kontak tonus pada tingkat spinal dan supra spinal akibat adanya informasi sensoris yang tidak benar.
Cranenburgh (1989), mengatakan bahwa daerah yang paling padat dilalui oleh setiap informasi sensoris adalah regio thorakal (Thorakal 1 – 12 ). Pada regio thorakal informasi sensoris berasal dari regio innervasi somatis dan regio innervasi simpatis perifer saling melintasi pada tempat yang sama. Pemberian stimulasi elektris pada level thorakal 1 – 12 (regio thorakal ) akan membantu memberikan informasi yang benar melalui mekanisme “sensory habituation” sehingga setiap impuls langsung sensory yag menuju daerah thorakal diharapkan akan lebih terkendali. Arus listrik yang digunakan adalah stimulus (1) thermal hangat atau dingin pada regio thorakal dan (2) penggunaan arus yang menuju mendepolarisasi sel sensorik pada level somatic maupun sympatis perifer sehingga terjadi adaptasi sensory. Adaptasi sensoris menurunkan ketegangan tonus termasuk spastisitas.
Pelaksanaan
Stimulasi elektris menggunakan arus interferensi atau thermal hangat (SWD, IR) pada regio punggung sensory habituation dapat dilakukan melaui pemberian stimulasi pada sisi yang sehat untuk mempengaruhi myostatic reflex pada posisi yang lesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar