BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Dalam pembukaan UUD 1945 alenia 4 disebutkan tujuan Pembangunan Nasional adalah tercapainya kesejahteraan umum yang berarti mewujudkan masyarakat makmur dan berkeadilan sosial. Kriteria bahwa kesejahteraan umum dikatakan berhasil jika derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat tercapai. Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan nasional mengenai pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010.
Upaya pelayanan kesehatan yang semula mengutamakan aspek pengobatan saja berangsur-angsur berkembang dan mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif). Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan juga menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan, penyembuhan serta rehabilitasi medik. Pelayanan pada Rumah Sakit berangsur - angsur semakin berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam kasus ini, penanganan yang dilakukan Rumah Sakit terutama dalam bidang ilmu bedah, adalah dengan metode operatif yaitu suatu bentuk operasi dengan pemasangan Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) dimana jenis internal fiksasi yang digunakan dalam kasus ini berupa plate and screw. Pada kasus ini metode operasi yang digunakan internal fixasi karena dengan metode konservatif sudah tidak mungkin dapat dilakukan, hal ini dikarenakan fragmen fraktur sulit untuk menyambung dengan baik. Selain itu, penyambungan tulang kontak fragmen langsung lebih baik dari pada tanpa operasi (Appley, 1995). Alasan lain, karena proses penyambungan tulang lebih cepat sehingga pasien tidak kehilangan banyak waktu serta biaya untuk rawat inap di Rumah Sakit (John C. Adams, 1992).
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan atau perimpilan korteks, biasanya patahan tersebut lengkap dan fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya masih utuh, disebut fraktur tertutup sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Appley, 1995). Salah satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara langsung oleh tulang.
Sebanding dengan banyaknya pasien kasus fraktur di Rumah Sakit yang mendapatkan pelayanan medis kurang adekuat atau kurang optimal oleh karena keterbatasan biaya dan fasilitas, maka akan berdampak pada pemulihan dengan hasil sisa atau sequele. Secara tidak langsung hasil sisa tersebut terutama pada fraktur cruris mengalami gangguan fungsional sehingga berakibat pada produktivitas kerja yang akhirnya akan menurunkan pendapatan perkapita negara sebagai sumber dana dan sarana pembangunan nasional.
Pada kasus fraktur terutama post operasi fraktur cruris menimbulkan berbagai macam gangguan yaitu impairment, functional limitation dan disability. Fisioterapi sebagai salah satu tenaga medis, mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam mengatasi permasalahan akibat tindakan operasi. Adapun modalitas yang digunakan fisioterapi pada kasus fraktur cruris 1/3 distal dextra disini adalah dengan terapi latihan.
A. Latar Belakang Masalah
Menurut gambaran epidemiologinya, fraktur merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan kecacatan paling tinggi dari semua trauma kendaraan bermotor. Data yang tercatat di RSO Dr. Soeharso Surakarta menunjukkan bahwa penderita fraktur pada tahun 2002 sebanyak 863 orang dengan penderita fraktur cruris 74 orang, tahun 2003 sebanyak 830 orang dengan penderita fraktur cruris 66 orang, tahun 2004 sebanyak 889 orang dengan penderita fraktur cruris 54 orang, dan tahun 2005 sebanyak 4549 orang dengan penderita fraktur cruris 1613 orang (RSO Dr. Soeharso).
Pada kondisi post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra akan menimbulkan problematik seperti (1) oedem, (2) nyeri, (3) keterbatasan lingkup gerak sendi ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan.
Dilihat dari aspek fisioterapi, fracture cruris 1/3 distal dextra dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu impairment berupa bengkak pada ankle dan tungkai bawah, nyeri sekitar luka operasi, keterbatasan luas gerak sendi ankle. Dampak lebih lanjut adalah adanya satu bentuk functional limitation yang berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional terutama jongkok, berdiri dan berjalan. Disamping itu timbul juga adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitasnya seperti semula yaitu sebagai buruh yang disebut dengan disability.
Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah dengan terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif (Kisner, 1996). Macam dari terapi latihan tersebut diantaranya (1) breathing exercise, (2) posisioning (3) static contraction, (4) passive exercise, (5) active exercise, (6) latihan jalan. Terapi latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem dan luka incisi, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah sekitar fraktur, mempertahankan, menambah atau memelihara luas gerak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan sehingga dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan akibat dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi latihan yang berupa (1) static contraction yang dikombinasi dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada tungkai bawah sehingga nyeri dapat berkurang (Kisner, 1996), (2) latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (3) latihan gerak aktif untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (4) latihan ambulasi untuk aktivitas fungsional berjalan secara bertahap.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang muncul pada post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra dengan pemasangan plate and screw di tinjau dari segi fisioterapi sangat kompleks, karena berhubungan dengan impairment, functional limitation dan disability. Dengan permasalahan - permasalahan tersebut rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan adalah (1) apakah breathing exercise dapat mencegah komplikasi paru pada pasien post operasi? (2) static contraction yang dikombinasi dengan elevasi dapat mengurangi oedem sehingga nyeri dapat berkurang? (3) apakah passive exercise dapat memelihara dan mengembalikan luas gerak sendi ankle? (4) apakah active exercise dapat memelihara luas gerak sendi ankle? (5) apakah latihan jalan dapat meningkatkan kemampuan fungsional jalan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah (1) untuk mengetahui manfaat breathing exercise untuk mencegah komplikasi paru post operasi (2) untuk mengetahui manfaat static contraction dan positioning (elevasi) terhadap pengurangan oedem sehingga nyeri dapat berkurang, (3) untuk mengetahui manfaat passive exercise terhadap pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle, (4) untuk mengetahui manfaat active exercise terhadap pemeliharaan luas gerak sendi ankle, (5) untuk mengetahui manfaat latihan jalan terhadap peningkatan kemampuan aktifitas fungsional jalan.
BAB IIUpaya pelayanan kesehatan yang semula mengutamakan aspek pengobatan saja berangsur-angsur berkembang dan mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif). Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan juga menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan, penyembuhan serta rehabilitasi medik. Pelayanan pada Rumah Sakit berangsur - angsur semakin berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam kasus ini, penanganan yang dilakukan Rumah Sakit terutama dalam bidang ilmu bedah, adalah dengan metode operatif yaitu suatu bentuk operasi dengan pemasangan Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) dimana jenis internal fiksasi yang digunakan dalam kasus ini berupa plate and screw. Pada kasus ini metode operasi yang digunakan internal fixasi karena dengan metode konservatif sudah tidak mungkin dapat dilakukan, hal ini dikarenakan fragmen fraktur sulit untuk menyambung dengan baik. Selain itu, penyambungan tulang kontak fragmen langsung lebih baik dari pada tanpa operasi (Appley, 1995). Alasan lain, karena proses penyambungan tulang lebih cepat sehingga pasien tidak kehilangan banyak waktu serta biaya untuk rawat inap di Rumah Sakit (John C. Adams, 1992).
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan atau perimpilan korteks, biasanya patahan tersebut lengkap dan fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya masih utuh, disebut fraktur tertutup sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Appley, 1995). Salah satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara langsung oleh tulang.
Sebanding dengan banyaknya pasien kasus fraktur di Rumah Sakit yang mendapatkan pelayanan medis kurang adekuat atau kurang optimal oleh karena keterbatasan biaya dan fasilitas, maka akan berdampak pada pemulihan dengan hasil sisa atau sequele. Secara tidak langsung hasil sisa tersebut terutama pada fraktur cruris mengalami gangguan fungsional sehingga berakibat pada produktivitas kerja yang akhirnya akan menurunkan pendapatan perkapita negara sebagai sumber dana dan sarana pembangunan nasional.
Pada kasus fraktur terutama post operasi fraktur cruris menimbulkan berbagai macam gangguan yaitu impairment, functional limitation dan disability. Fisioterapi sebagai salah satu tenaga medis, mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam mengatasi permasalahan akibat tindakan operasi. Adapun modalitas yang digunakan fisioterapi pada kasus fraktur cruris 1/3 distal dextra disini adalah dengan terapi latihan.
A. Latar Belakang Masalah
Menurut gambaran epidemiologinya, fraktur merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan kecacatan paling tinggi dari semua trauma kendaraan bermotor. Data yang tercatat di RSO Dr. Soeharso Surakarta menunjukkan bahwa penderita fraktur pada tahun 2002 sebanyak 863 orang dengan penderita fraktur cruris 74 orang, tahun 2003 sebanyak 830 orang dengan penderita fraktur cruris 66 orang, tahun 2004 sebanyak 889 orang dengan penderita fraktur cruris 54 orang, dan tahun 2005 sebanyak 4549 orang dengan penderita fraktur cruris 1613 orang (RSO Dr. Soeharso).
Pada kondisi post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra akan menimbulkan problematik seperti (1) oedem, (2) nyeri, (3) keterbatasan lingkup gerak sendi ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan.
Dilihat dari aspek fisioterapi, fracture cruris 1/3 distal dextra dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu impairment berupa bengkak pada ankle dan tungkai bawah, nyeri sekitar luka operasi, keterbatasan luas gerak sendi ankle. Dampak lebih lanjut adalah adanya satu bentuk functional limitation yang berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional terutama jongkok, berdiri dan berjalan. Disamping itu timbul juga adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitasnya seperti semula yaitu sebagai buruh yang disebut dengan disability.
Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah dengan terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif (Kisner, 1996). Macam dari terapi latihan tersebut diantaranya (1) breathing exercise, (2) posisioning (3) static contraction, (4) passive exercise, (5) active exercise, (6) latihan jalan. Terapi latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem dan luka incisi, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah sekitar fraktur, mempertahankan, menambah atau memelihara luas gerak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan sehingga dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan akibat dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi latihan yang berupa (1) static contraction yang dikombinasi dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada tungkai bawah sehingga nyeri dapat berkurang (Kisner, 1996), (2) latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (3) latihan gerak aktif untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (4) latihan ambulasi untuk aktivitas fungsional berjalan secara bertahap.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang muncul pada post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra dengan pemasangan plate and screw di tinjau dari segi fisioterapi sangat kompleks, karena berhubungan dengan impairment, functional limitation dan disability. Dengan permasalahan - permasalahan tersebut rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan adalah (1) apakah breathing exercise dapat mencegah komplikasi paru pada pasien post operasi? (2) static contraction yang dikombinasi dengan elevasi dapat mengurangi oedem sehingga nyeri dapat berkurang? (3) apakah passive exercise dapat memelihara dan mengembalikan luas gerak sendi ankle? (4) apakah active exercise dapat memelihara luas gerak sendi ankle? (5) apakah latihan jalan dapat meningkatkan kemampuan fungsional jalan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah (1) untuk mengetahui manfaat breathing exercise untuk mencegah komplikasi paru post operasi (2) untuk mengetahui manfaat static contraction dan positioning (elevasi) terhadap pengurangan oedem sehingga nyeri dapat berkurang, (3) untuk mengetahui manfaat passive exercise terhadap pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle, (4) untuk mengetahui manfaat active exercise terhadap pemeliharaan luas gerak sendi ankle, (5) untuk mengetahui manfaat latihan jalan terhadap peningkatan kemampuan aktifitas fungsional jalan.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Anatomi Fungsional
a. Sistem Tulang
Tungkai bawah terdiri dari 2 tulang yaitu tulang tibia dan tulang fibula. Tulang tibia sering disebut juga dengan tulang kering, sedangkan tulang fibula disebut juga dengan tulang betis. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan mempunyai dua ujung. Tulang tibia terletak disebelah medial fibula yang terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis proksimalis, diaphysis dan epiphysis distalis. Sedangkan tulang fibula terletak di sebelah lateral tibia, dan juga terdiri dari 3 bagian.
b. Sistem Sendi
Sendi pergelangan kaki terdiri dari 3 persendian yaitu sendi tibiofibularis distalis, sendi talocruralis dan sendi subtalaris. Gerakan yang dapat dilakukan sendi pergelangan kaki adalah plantar fleksi, dorsi fleksi, eversi, dan inversi (Norkin,1995). Luas gerak sendi pergelangan kaki untuk gerak plantar fleksi - dorsal fleksi S 20˚- 0˚-50˚, sedang luas gerak sendi untuk gerak eversi - inversi R 40˚- 0˚- 20˚ yang diukur pada posisi anatomis (Russe, 1975).
Dilihat dari aspek arthrokinematika, saat dorsal fleksi ankle talus akan sliding kea rah posterior dan fibula akan bergerak kea rah proximal.
c. Sistem otot
Tulang merupakan alat gerak tubuh pasif, sedangkan otot merupakan alat gerak tubuh aktif. Dengan adanya kontraksi dari otot akan timbul gerakan pada sendi atau tulang. Otot penggerak pergelangan kaki adalah otot gastrocnemius, otot plantaris, otot soleus, otot tibialis, otot fleksor halucis longus, otot extensor digitorum longus, otot peroneus longus (Daniels and Wortingham, 1989).
Gambar 1
Tulang Tibia dan Fibula kanan tampak depan (Putz, 2000)
Keterangan gambar
1. Tulang fibula
2. Tulang tibia
Gambar 2
Otot tungkai bawah kanan tampak depan (Putz, 2000)
Keterangan gambar :
1. m. Fibularis (peroneus) longus
2. m. Fibularis anterior
3. m. Gastrocnemius
4. m. Soleus
5. m. Digitorum longus
6. m. Fibularis brevis
7. m. Extensor digitorum longus
8. m. Extensor hallucis longus
Gambar 3
Otot tungkai bawah kanan tampak belakang (Putz, 2000)
Keterangan gambar :
1. m. Gastrocnemius lateralis
2. m. Gastrocnemius medialis
3. m. Gastrocnemius tendo
4. m. Soleus
B. Patologi dan Problematika Fisioterapi
1. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan - latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Tujuan dari terapi latihan adalah untuk mengatasi gangguan fungsi dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi nyeri dan oedem serta melatih aktivitas fungsional.
Jenis terapi latihan yang digunakan dalam kasus ini antara lain (1) breathing exercise, (2) static contraction, (3) passive exercise, (4) active exercise, (5) latihan transver dan ambulasi.
b. Fraktur cruris 1/3 distal dextra
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang (Appley, 1995). Sedangkan cruris adalah tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula. 1/3 distal dextra adalah 1/3 bagian bawah dari tungkai kanan. Jadi, fraktur cruris 1/3 distal dextra adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan fibula bagian kanan yang terletak pada 1/3 bagian bawah dari tulang.
c. Open Reduction Internal Fixatie (ORIF)
Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fixasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, atau ketika plaster gagal untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992). Internal fixasi yang digunakan pada kasus ini berupa plate and screws yang merupakan sebuah lempengan besi dan berupa sekrup yang dipasang pada tulang yang patah dan berfungsi sebagai immobilisasi. Biasanya digunakan pada fraktur tulang panjang dengan tipe simple tranverse dan simple oblique fraktur.
2. Etiologi
Menurut etiologinya fraktur dibedakan menjadi 3 yaitu (1) fraktur yang disebabkan oleh trauma, baik langsung maupun tak langsung, (2) fraktur yang disebabkan oleh kelelahan pada tulang, (3) fraktur karena keadaan patologi (Appley,1995). Pada kasus ini penulis memilih fraktur yang disebabkan karena trauma langsung yaitu karena kecelakaan lalulintas atau benturan, yang terjadi perpatahan pada 1/3 distal cruris dextra.
Etiologi atau penyebab lain dari permasalahan ini adalah adanya tindakan operasi untuk reduksi dan pemasangan fixasi. Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fixasi berupa plate and screw sehingga akan terjadi kerusakan kulit, jaringan lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedem, nyeri, keterbatasan luas gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai.
3. Perubahan Patologi
Operasi pada fraktur cruris 1/3 distal dextra akan dilakukan incisi pada tungkai bawah bagian lateral. Dengan operasi ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan lunak ataupun kerusakan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri. Bila pembuluh darah terpotong, maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan pembengkakan. Cairan ini akan menekan ujung saraf sensoris sehingga akan timbul nyeri dan pergerakan pada daerah tersebut menjadi terbatas.
Waktu penyembuhan fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertai. Pada fraktur yang tidak kompleks, bukti mikroskopik dari penyembuhan biasanya dapat terlihat pada tempat fraktur dalam 15 jam setelah cedera (Garrison, 1996).
Tulang mempunyai kemampuan menyambung setelah terjadi patah tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 tahap yaitu:
a. Hematoma
Hematoma adalah suatu proses perdarahan dimana darah pada pembuluh darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt mati, akibatnya terjadi necrose. Hematoma yang banyak mengandung fibrin melindungi tulang yang rusak. Setelah 24 jam suplai darah ke area fraktur mulai meningkat. Stadium ini berlangsung 1 sampai 3 hari (Gartland, 1974).
b. Proliferasi
Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilage keluar dari ujung – ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat bentukan pulau – pulau cartilage. Pada stadium ini terjadi pembentukan granulasi jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah, fibroblast dan osteoblast. Haematoma merupakan dasar untuk proses penggantian dan penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai 2 minggu (Gartland, 1974).
c. Pembentukan callus atau kalsifikasi
Pembentukan callus atau kalsifikasi adalah proses dimana setelah terjadi bentukan cartilago yang kemudian berkembang menjadi fibrous callus sehingga tulang akan menjadi sedikit osteoporotik. Pembentukan ini terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Fase ini berlangsung 2 sampai 6 minggu (Gartland,1974).
d. Konsolidasi
Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi penyatuan pada kedua ujung tulang. Callus yang tidak diperlukan mulai diabsorbsi (Gartland, 1974). Pada tahap ini tulang sudah kuat tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3 minggu sampai 6 bulan.
e. Remodeling
Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali atau tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat secara perlahan – lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis. Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai 1 tahun (Gartland, 1974).
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi timbul permasalahan yang berupa :
a. Nyeri
Nyeri merupakan adanya kerusakan jaringan, dimana jaringan akan mengeluarkan zat kimia seperti bradikinin, serotonin, histamine sebagai reaksi dari kerusakan jaringan, zat kimia tersebut akan merangsang nociseptik yang akan menambah nyeri daerah tersebut (Kisner, 1996).
b. Oedem
Oedem dapat timbul karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat incisi, sehingga cairan yang melewatinya tidak lancar dan terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
c. Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedem, spasme otot, kelemahan otot sehingga pasien enggan untuk bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan luas gerak sendi yang dalam jangka waktu lama akan berpengaruh pada penurunan kemampuan aktivitas fungsional terutama berjalan.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra antara lain (1) oedem disekitar tungkai bawah, (2) rasa nyeri akibat adanya oedem dan luka incise post operasi, (3) keterbatasan gerak sendi ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional, terutama gangguan jalan (Appley, 1995).
5. Komplikasi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra, komplikasi yang mungkin terjadi yaitu komplikasi yang berhubungan dengan setelah dilakukannya tindakan operasi, antara lain:
a. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya terjadi akibat oedem dan fibrosis pada kapsul, ligamen, dan otot disekitar sendi dan terjadi perlengketan antar jaringan lunak.
b. Komplikasi kulit
Immobilisasi tanpa alat pemulih, tekanan yang semestinya dan adanya aplikasi gips pada daerah fraktur yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya ulkus tekan (Garrison, 1996).
c. Infeksi
Infeksi biasanya terjadi karena luka incisi yang tidak steril yang dapat menimbulkan adanya nyeri.
Sedangkan untuk komplikasi karena fraktur, antara lain:
a. Shorthening
Shorthening terjadi karena pemendekan pada tulang yang diakibatkan mal union, loss of bone dan gangguan epiphysial plate pada anak – anak.
b. Mal union
Mal union merupakan penyambungan yang tidak sesuai dengan posisi yang semestinya, seperti angulasi, overlapping dan rotasi. Distribusi gaya tekan yang tidak baik menyebabkan gangguan fungsi dan timbulnya perubahan – perubahan osteoarthritis yang lebih awal pada sendi – sendi yang berdekatan. Bila ada gangguan fungsi berat tindakan rekonstruksi harus dilakukan terhadap tulang atau sendi yang mengalami mal union (Bloch, 1986).
c. Non union
Non union adalah keadaan dimana fragmen gagal untuk menyambung walaupun telah diimobilisasi. Hal ini karena pembentukan callus terganggu dan ujung – ujung fragmen tertutup oleh jaringan fibrocartilago (Bloch, 1986).
d. Delayed union
Delayed union adalah terjadinya penyambungan tulang yang terlambat karena infeksi, suplai darah tidak lancar dan adanya gerakan pada ujung fragmen. Beberapa tempat yang sering mengalami penyambungan lambat dengan sirkulasi yang kurang diantaranya os naviculare dari os carpalia, colum femoris dan spertiga bagian bawah tibia (Bloch, 1986).
6. Prognosis
Prognosis pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra tergantung pada jenis dan bentuk fraktur, bagaimana operasinya, dan peran dari fisioterapi. Prognosis dikatakan baik jika penderita secepat mungkin dibawa ke rumah sakit sesaat setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang diderita ringan, bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum pasien baik, usia pasien relative muda, tidak terdapat infeksi pada fraktur dan peredaran darah lancar. Penanganan yang diberikan seperti operasi dan pemberian internal fiksasi juga sangat mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur tulang yang patah. Setelah operasi dengan pemberian internal fiksasi berupa plate and screw, diperlukan terapi latihan untuk mengembalikan aktivitas fungsionalnya. Pemberian terapi latihan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik bilamana (1) quo ad vitam baik jika pada kasus ini tidak mengancam jiwa pasien, (2) quo ad sanam baik jika jenis perpatahan ringan, usia pasien relative muda dan tidak ada infeksi pada fraktur, (3) quo ad fungsionam baik jika pasien dapat melakukan aktivitas fungsional, (4) quo ad cosmeticam yang disebut juga dengan proses remodeling baik jika tidak terjadi deformitas tulang. Dalam proses rehabilitasi, peran fisioterapi sangat penting terutama dalam mencegah komplikasi dan melatih aktivitas fungsionalnya.
7. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi yang sering muncul pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra meliputi impairment, functional limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya oedem pada ankle dan tungkai bawah terjadi karena suatu reaksi radang atau respon tubuh terhadap cidera jaringan, (2) adanya nyeri gerak pada ankle akibat luka sayatan operasi yang menyebabkan ujung - ujung saraf sensoris teriritasi dan karena adanya oedem pada daerah sekitar fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi ankle karena adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar fraktur.
b. Functional limitation
Pada functional limitation terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama dalam melakukan aktivitas fungsional terutama berdiri dan berjalan..
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu kesulitan dalam melakukan aktivitasnya sebagai seorang buruh karena pasien mengalami gangguan dalam aktivitas berjalan.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Terapi latihan yang dilakukan adalah:
1. Breathing Exercise
Breathing exercise merupakan suatu tehnik latihan pernafasan dengan menarik nafas lewat hidung atau inspirasi dan mengeluarkan nafas lewat mulut atau ekspirasi. Tehnik latihan pernafasan yang digunakan dalam kasus ini adalah deep breathing exercise. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi paru pada post operasi akibat bius general. Tehnik latihan pernafasan ini menekankan pada inspirasi maksimal dan panjang lalu dihembuskan dengan perlahan sampai akhir expirasi dengan tujuan mempertahankan alveolus tetap mengembang, mobilisasi thorak, untuk meningkatkan oksigenasi dan mempertahankan volume paru.
2. Positioning
Positioning yaitu perubahan posisi anggota gerak badan yang sakit. Untuk mengurangi oedema pada tungkai, maka tungkai dielevasikan dengan cara di ganjal bantal setinggi 30° - 450. Selama pasien sadar, dosisnya adalah satu jam tungkai dielevasikan dan satu jam tungkai dikembalikan ke posisi semula.
3. Static contraction
Static contraction merupakan suatu terapi latihan dengan cara mengontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot maupun pergerakan sendi (Kisner, 1996). Tujuan static contraction adalah memperlancar sirkulasi darah sehingga dapat membantu mengurangi oedem dan nyeri serta menjaga kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi.
4. Passive exercise
Passive exercise merupakan suatu gerakan yang dihasilkan dari kekuatan luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang disadari. Kekuatan luar tersebut dapat berasal dari gravitasi, mesin, individu atau bagian tubuh lain dari individu itu sendiri (Kisner, 1996). Gerakan ini terbagi menjadi 2 gerakan:
a. Relaxed passive exercise
Relaxed passive exercise merupakan gerakan murni yang berasal dari terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien. Tujuan dari gerakan ini untuk melatih otot secara pasif, sehingga diharapkan otot menjadi rileks dan dapat mengurangi nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak dan elastisitas otot (Kisner, 1996).
b. Force passive exercise
Force passive exercise gerakan berasal dari terapis atau luar dimana pada akhir gerakan diberikan penekanan. Tujuan gerakan ini untuk mencegah terjadinya kontraktur dan menambah luas gerak sendi serta untuk mencegah timbulnya perlengketan jaringan (Kisner, 1996).
5. Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan karena adanya kekuatan otot dan anggota tubuh sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi (Basmajian, 1978). Tujuan active exercise (1) memelihara dan meningkatkan kekuatan otot, (2) mengurangi bengkak disekitar fraktur, (3) mengembalikan koordinasi dan ketrampilan motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 1996).
6. Latihan jalan
Latihan jalan merupakan aspek terpenting pada penderita sehingga mereka dapat kembali melakukan aktifitasnya seperti semula. Latihan ini dilakuakan secara bertahap. Dimulai dari aktivitas di tempat tidur seperti bergeser (bridging), bangun, duduk dengan kaki terjuntai ke bawah (high sitting) kemudian latihan berdiri, ambulasi berupa jalan dengan menggunakan walker kemudian ditingkatkan dengan menggunakan kruk (tergantung kondisi umum pasien). Latihan berjalan secara Non Weight Bearing (NWB) dengan menggunakan metode three point gait pada hari ke 3 atau sesuai kemampuan pasien kemudian ditingkatkan dengan cara Partial Weight Bearing (PWB) jika pada pasien tersebut sudah terjadi pembentukan callus atau kurang lebih 3 minggu (Gartland, 1974). Dosis awal latihan 30% menumpu berat badan dan kemudian ditingkatkan menjadi 80% menumpu berat badan, lalu ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight Bearing. Tujuan dari latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih dengan bantuan alat.
7. Edukasi
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien yaitu home program yang dapat
dilakukan di bangsal maupun di rumah, seperti (1) melakukan aktivitas sendiri atau dengan bantuan orang lain untuk berlatih seperti yang telah diajarkan, (2) untuk mengurangi bengkak pasien dianjurkan mengganjal tungkai yang sakit dengan guling saat pasien tidur terlentang, (3) kurang lebih selama 2 minggu atau lebih setelah post operasi pasien dianjurkan untuk tidak menumpu dengan kaki yang sakit sampai terjadi penyambungan callus.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pengkajian Fisioterapi
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan sumber data. Dengan anamnesis dapat diperoleh data-data yang dibutuhkan dalam menentukan diagnosa dan terapi latihan yang akan diberikan. Macam anamnesis ada 2 yaitu autoanamnesis dan heteroanamnesis. Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan secara autoanamnesis.
a. Anamnesis umum
Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara lengkap. Dalam anamnesis ditemukan data seperti (1) nama, (2) umur, (3) jenis kelamin, (4) agama, (5) pekerjaan, (6) alamat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk tujuan terapi akhir yang diprogramkan dan disesuaikan dengan kegiatan keseharian dari pasien.
b. Anamnesis khusus
Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan utama pasien, adanya nyeri dan bengkak pada tungkai dan kaki, adanya penurunan LGS pada sendi pergelangan kaki, adanya gangguan dalam aktivitas jalan.
Riwayat penyakit sekarang ditanyakan tentang kapan terjadinya fraktur, bagaimana proses terjadinya, posisi jatuhnya, sudah pernah dibawa kemana saja dalam menangani fraktur tersebut dan ditanyakan juga tentang faktor apa saja yang dapat memperingan atau memperberat keluhan utama dari pasien.
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan tentang penyakit apa saja yang pernah diderita oleh pasien.
Riwayat penyakit penyerta berisikan tentang berbagai macam penyakit yang diderita pasien saat itu.
Riwayat pribadi merupakan riwayat tentang riwayat pribadi pasien seperti aktivitas sehari – hari, hobi, keluarga, dan lain – lain.
Riwayat keluarga bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit – penyakit yang bersifat menurun dari keluarga, ataupun penyakit menular orang terdekat.
Berdasarkan anamnesis sistem dapat diketahui tentang keluhan yang terjadi, misalnya gangguan kepala dan leher, kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, persarafan, serta musculoskeletal yaitu apakah terdapat kerterbatasan gerak pada sendi pergelangan kaki serta adanya penurunan kekuatan otot-otot penggerak sendi pergelangan kaki.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda- tanda vital
Tanda-tanda vital terdiri dari (1) tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernapasan, (4) temperatur. Data tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada hipertensi, hipotensi, tacikardi, obesitas dan sebagainya.
b. Inspeksi
Inspeksi merupakan suatu pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati keadaan pasien, mengenai keadaan umum, sikap tubuh, dan warna kulit.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak dengan pasien, dengan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui nyeri tekan dan suhu.
d. Kemampuan aktivitas fungsional
Terapis melihat apakah pasien sudah bisa bergeser ke kanan atau ke kiri, apakah pasien sudah bisa duduk tegak, mampu miring sendiri, apakah sudah dapat berdiri dengan atau tanpa bantuan dari orang lain. Perlu ditanyakan juga apakah pasien dalam buang air besar mengalami gangguan dan apakah pasien sudah bisa berjalan.
3. Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak pasif
Pemeriksaan gerakan yang dilakukan oleh terapis kepada pasien dimana pasien dalam keadaan pasif dan rileks. Tujuan dari pemeriksaan gerak pasif untuk mendapatkan data informasi tentang luas gerak sendi pasif ankle, stabilitas sendi, rasa nyeri dan end feel.
b. Gerak aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa secara aktif, terapis melihat dan memberikan aba-aba. Tujuan tes ini adalah untuk mendapatkan data informasi tentang bagaimana LGS aktif ankle, rasa nyeri dan nilai kekuatan otot.
c. Gerak isometric melawan tahanan
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya nyeri dan adanya penurunan kekuatan otot terutama sendi ankle. Dilakukan dengan cara pasien disuruh mengkontraksikan otot dan mencoba untuk melakukan gerakan tapi diberi panahanan oleh terapis sehingga tidak terjadi gerakan dan penambahan luas gerak sendi.
4. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada kasus ini meliputi:
a. Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), yaitu pengukuran derajat nyeri dengan sepuluh skala penilaian yaitu dengan menunjukkan satu titik pada sebuah garis pada skala nyeri (0 - 100) dengan besarannya dalam satuan milimeter, panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri (Sri Surini, 2002). Terapis menjelaskan terlebih dahulu kepada pasien tentang penilaian diatas, kemudian pasien diminta untuk menunjuk salah satu titik dalam garis tersebut yang dapat mewakili rasa nyeri yang dirasakan pada saat itu. Penilaian dilakukan pada saat pasien diam, digerakkan secara pasif dan aktif oleh terapis.
b. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan luas gerak sendi dengan menggunakan goniometer. Pada ankle meliputi gerakan dorsi fleksi, plantar fleksi, eversi, dan inversi.
Posisi netral untuk gerakan dorsi fleksi adalah sesuai dengan posisi anatomis kaki. Gerakan pada ankle terjadi pada bidang sagital dan axis gerakannya pada bidang frontal yaitu pada malleolus lateralis. Dalam melakukan pemeriksaan as goniometer diletakkan 15 cm dari malleolus lateralis. Tangkai statis sejajar dengan axis longitudinal tulang tibia sedangkan tangkai dinamis sejajar dengan axis longitudinal tulang metatarsal V (Russe, 1975).
c. Anthropometri
Pengukuran lingkar segmen tubuh sangat penting dalam pemeriksaan ada tidaknya pembengkakan. Alat ukur yang digunakan adalah midline. Pada prinsipnya pengukuran lingkar anggota gerak dilakukan dengan menggunakan patokan yaitu tuberositas tibiae sampai malleolus lateralis. Selain itu dilakukan pengukuran panjang tungkai dari SIAS sampai malleolus medialis. Pengukuran lingkar segmen yang mengalami oedem perlu dilakukan, kemudian dibandingkan antara tungkai yang sakit dengan tungkai yang sehat.
d. Pemeriksaan aktivitas fungsional
Untuk menilai perkembangan aktivitas fungsional dari pasien pada saat sebelum dan sesudah pemberian terapi latihan, terapis dapat melihat perkembangan pasien mulai dari jongkok, berdiri dan berjalan. Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran aktivitas fungsional yaitu menggunakan skala Jette. Aktivits yang dites meliputi berdiri dari posisi duduk, berjalan 15 m dan naik turun tangga 3 trap. Keterangan penilaian (1) nyeri, berkaitan dengan derajat nyeri saat melakukan aktivitas, (2) kesulitan, berkaitan dengan deajat kesulitan untuk malaukan aktivitas, (3) ketergantungan, berkaitan dengan derajat ketergantungan untuk melakukan aktivitas. Dalam menilai masing – masing dimensi yaitu dengan menggunakan pilihan ganda yang masing – masing dimensi dibagi menjadi 4 skala untuk dimensi nyeri dan 5 skala untuk dimensi kesulita dan ketergantungan ( Jette AM, 1980 dikutip oleh Slamet, 2000 ).
TABEL I
SKALA JETTE
Bentuk aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Berjalan 15 meter Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Naik turun tangga Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4:nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
(Slamet Parjoto, 2000)
5. Diagnosa Fisioterapi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dimungkinkan terjadi gangguan impairment yaitu (1) oedem pada tungkai bawah dan ankle, (2) nyeri karena oedem dan luka incisi, (3) keterbatasan LGS ankle. Sedangkan gangguan yang terjadi pada functional limitation yaitu penurunan ambulasi dan perawatan diri yaitu adanya keterbatasan dalam aktivitas fungsional tungkai bawah. Pada disability gangguan yang terjadi yaitu adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar yang berupa berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.
B. Tujuan Fisioterapi
Pada kasus ini terapi yang diberikan bertujuan untuk (1) mengurangi oedem, (2) mengurangi nyeri, (3) menigkatkan luas gerak sendi pada ankle, (4) mengajarkan latihan jalan pada pasien sehingga dengan diberikannya terapi latihan ini diharapkan pasien dapat kembali beraktivitas seperti semula.
C. Rencana Pelaksanaan Terapi
1. Breathing exercise
Breathing exercise yang dilakukan adalah deep breathing exercise. Deep breathing exercise ini dilakukan dengan posisi pasien tidur terlentang. Pelaksanaannya dengan cara pasien diminta untuk menghirup nafas dalam melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut secara perlahan. Dimulai setelah pasien sadar dari tindakan operasi, biasanya satu atau dua hari setelah operasi. Gerakan ini dilakukan 4 – 6 kali.
2. Static contraction
Tujuan dari static contraction adalah untuk mengurangi oedem sehingga nyeri berkurang. Posisi pasien pada hari pertama masih tidur terlentang dengan disertai kaki yang sakit dielevasikan antara 30 - 45˚ selama 10 – 15 menit, dengan posisi terapis berada disamping penderita. Terapis meletakkan tangannya dibawah betis pasien, kemudian pasien diminta menekan tangan terapis ke bed. Kemudian tangan terapis diletakkan pada pergelangan kaki pasien, pasien diminta untuk menekan tangan terapis. Gerakan dilakukan 5 -10 kali hitungan diselingi dengan menarik nafas dalam untuk rileksasi, gerakan ini diulang 4 kali.
3. Passive exercise
a. Rileks passive movement
Tujuan dari latihan ini yaitu mencegah terjadinya keterbatasan gerak. Latihan dilakukan secara hati – hati pada hari pertama post operasi dengan posisi awal pasien terlentang dimana pergelangan kaki pada tungkai yang sakit tersangga dengan baik oleh bed. Posisi terapis homolateral pada ankle yang dilatih. Satu tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki, tangan yang lain memegang tumit. Posisi pasien rileks, penguluran diawali pada sendi ankle kemudian dilanjutkan gerakan dorsi fleksi dan plantar fleksi secara bergantian.
b. Force passive movement
Tujuan dari latihan ini adalah untuk meningkatkan lingkup gerak sendi pergelangan kaki. Latihan diberikan beberapa hari setelah operasi. Tehnik pelaksanaan sama dengan rileks passive movement tetapi pada akkhir gerakan diberikan penekanan. Gerakan dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
4. Free active movement
Tujuan dilakukannya free active movement adalah untuk memelihara luas gerak sendi. Latihan dilakukan pada sendi pergelangan kaki, jari-jari pada kedua tungkai. Serta pasien bebas melakukan gerakan sendiri tanpa bantuan. Posisi pasien tidur terlentang atau bisa juga dengan duduk. Pada sendi pergelangan kaki dengan melakukan gerakan dorsal - plantar fleksi, inverse - eversi dan pada jari - jari kaki dengan melakukan gerakan fleksi - ekstensi, adduksi - abduksi. Gerakan ini dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
5. Hold relax
Tujuan dari latihan adalah untuk menambah luas gerak sendi pergelangan kaki, mengurangi nyeri dan rileksasi otot. Posisi awal pasien tidur terlentang sementara terapis di samping bed. Salah satu tangan terapis fiksasi lutut pasien dan tangan satunya diletakkan diatas ankle. Gerakan dilakukan secara aktif maupun pasif pada pola agonis hingga batas keterbatasan gerak pasien dimana nyeri mulai timbul. Pola gerak keterbatasan untuk gerak fleksi adalah fleksi – adduksi – eksorotasi dan fleksi – abduksi – endorotasi. Sedangkan untuk keterbatasan gerak ekstensi adalah ekstensi – abduksi – endorotasi dan ekstensi – adduksi – eksorotasi. Terapis memberi tahanan yang meningkat secara perlahan. Kemudian terapis memberi aba-aba "pertahankan disini", kemudian diikuti rileksasi pada pola antagonisnya kemudian digerakkan secara aktif maupun pasif kearah antagonis. Gerakan ini dilakukan 5 - 8 kali pengulangan (Yulianto Wahyono, 2002).
6. Latihan jalan
Dari posisi pasien duduk ongkang-ongkang ( high sitting ), tungkai yang sehat turun dengan kedua tangan berpegangan pada bed. Sedang tungkai yang sakit mengikuti turun dengan disangga tangan terapis tanpa menapak pada lantai. Sebagai awal latihan jalan terapis dapat melatih pasien dengan walker jika pasien sudah lanjut usia dan dengan menggunakan kruk jika pasien masih relatif muda atau keseimbangan pasien masih baik dengan dibantu terapis, pasien berdiri dengan kaki menggantung atau Non Weight Bearing (NWB) dengan 2 kruk pada hari ketiga dengan threepoint gait metode swing to kemudian ditingkatkan dengan Partial Weight Bearing (PWB) jika sudah terjadi pembentukan callus kurang lebih dalam jangka waktu 2 atau 3 minggu. Dosis awal latihan 30% menumpu berat badan lalu ditingkatkan menjadi 80% menumpu berat badan dan ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight Bearing.
7. Edukasi
Bila pasien sudah pulang, terapis bisa memberikan program latihan yang harus dilakukan dan memberikan penjelasan tentang aktivitas yang harus dihindari agar tidak terjadi refraktur. Salah satunya pasien harus melaksanakan program latihan yang diberikan oleh terapis untuk mengembalikan kemampuan fungsional pasien, seperti menggerakkan anggota tubuh untuk mencegah kekakuan dan atrofi otot, mengelevasikan kaki bila terasa nyeri, menghindari penumpuan berat badan berlebih pada tungkai yang mengalami fraktur. Dan yang terpenting adalah melatih kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari – hari sehingga tidak selalu tergantung dengan orang lain.
D. Rencana Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan terapi pada kondisi paska operasi fraktur cruris 1/3 distal dilakukan dengan 2 tahap yaitu evaluasi sebelum pelaksanaan terapi dan sesudah diberikannya terapi yang terakhir. Evaluasi ini meliputi (1) oedem dengan menggunakan midline dan dibandingkan dengan sisi yang sehat, (2) nilai tentang derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale (VAS), (3) luas gerak sendi pada ankle dengan menggunakan goniometer dan membandingkan dengan luas gerak sendi normal, (4) kemampuan fungsional jalan dengan melihat perkembangan dari penggunaan alat bantu jalan dan pola jalan dengan menggunakan skala Jette.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition, Churchill Livingstone.
Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley; Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Basmaijan, John, 1978; Theraupetic Exercise; Third edition, The William and Wilknis Baltimore, London.
Daniels and Wortinghams, 1995; Muscle Testing; Sixth edition, W. B Saunders Company, USA.
Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita Fraktur Cruris; RSO Dr. Soeharso Surakarta.
Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik; Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
Gartland, John, 1974; Fundamental of Orthopedics; Second edition, W. B. Sanders Company, Philadelpia.
Kapandji, I. A, 1987; The Physiologi of the Joint; 2nd edition, Churchill Livingstone, Edinburg, London, and New York
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan sumber data. Dengan anamnesis dapat diperoleh data-data yang dibutuhkan dalam menentukan diagnosa dan terapi latihan yang akan diberikan. Macam anamnesis ada 2 yaitu autoanamnesis dan heteroanamnesis. Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan secara autoanamnesis.
a. Anamnesis umum
Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara lengkap. Dalam anamnesis ditemukan data seperti (1) nama, (2) umur, (3) jenis kelamin, (4) agama, (5) pekerjaan, (6) alamat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk tujuan terapi akhir yang diprogramkan dan disesuaikan dengan kegiatan keseharian dari pasien.
b. Anamnesis khusus
Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan utama pasien, adanya nyeri dan bengkak pada tungkai dan kaki, adanya penurunan LGS pada sendi pergelangan kaki, adanya gangguan dalam aktivitas jalan.
Riwayat penyakit sekarang ditanyakan tentang kapan terjadinya fraktur, bagaimana proses terjadinya, posisi jatuhnya, sudah pernah dibawa kemana saja dalam menangani fraktur tersebut dan ditanyakan juga tentang faktor apa saja yang dapat memperingan atau memperberat keluhan utama dari pasien.
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan tentang penyakit apa saja yang pernah diderita oleh pasien.
Riwayat penyakit penyerta berisikan tentang berbagai macam penyakit yang diderita pasien saat itu.
Riwayat pribadi merupakan riwayat tentang riwayat pribadi pasien seperti aktivitas sehari – hari, hobi, keluarga, dan lain – lain.
Riwayat keluarga bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit – penyakit yang bersifat menurun dari keluarga, ataupun penyakit menular orang terdekat.
Berdasarkan anamnesis sistem dapat diketahui tentang keluhan yang terjadi, misalnya gangguan kepala dan leher, kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, persarafan, serta musculoskeletal yaitu apakah terdapat kerterbatasan gerak pada sendi pergelangan kaki serta adanya penurunan kekuatan otot-otot penggerak sendi pergelangan kaki.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda- tanda vital
Tanda-tanda vital terdiri dari (1) tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernapasan, (4) temperatur. Data tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada hipertensi, hipotensi, tacikardi, obesitas dan sebagainya.
b. Inspeksi
Inspeksi merupakan suatu pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati keadaan pasien, mengenai keadaan umum, sikap tubuh, dan warna kulit.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak dengan pasien, dengan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui nyeri tekan dan suhu.
d. Kemampuan aktivitas fungsional
Terapis melihat apakah pasien sudah bisa bergeser ke kanan atau ke kiri, apakah pasien sudah bisa duduk tegak, mampu miring sendiri, apakah sudah dapat berdiri dengan atau tanpa bantuan dari orang lain. Perlu ditanyakan juga apakah pasien dalam buang air besar mengalami gangguan dan apakah pasien sudah bisa berjalan.
3. Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak pasif
Pemeriksaan gerakan yang dilakukan oleh terapis kepada pasien dimana pasien dalam keadaan pasif dan rileks. Tujuan dari pemeriksaan gerak pasif untuk mendapatkan data informasi tentang luas gerak sendi pasif ankle, stabilitas sendi, rasa nyeri dan end feel.
b. Gerak aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa secara aktif, terapis melihat dan memberikan aba-aba. Tujuan tes ini adalah untuk mendapatkan data informasi tentang bagaimana LGS aktif ankle, rasa nyeri dan nilai kekuatan otot.
c. Gerak isometric melawan tahanan
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya nyeri dan adanya penurunan kekuatan otot terutama sendi ankle. Dilakukan dengan cara pasien disuruh mengkontraksikan otot dan mencoba untuk melakukan gerakan tapi diberi panahanan oleh terapis sehingga tidak terjadi gerakan dan penambahan luas gerak sendi.
4. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada kasus ini meliputi:
a. Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), yaitu pengukuran derajat nyeri dengan sepuluh skala penilaian yaitu dengan menunjukkan satu titik pada sebuah garis pada skala nyeri (0 - 100) dengan besarannya dalam satuan milimeter, panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri (Sri Surini, 2002). Terapis menjelaskan terlebih dahulu kepada pasien tentang penilaian diatas, kemudian pasien diminta untuk menunjuk salah satu titik dalam garis tersebut yang dapat mewakili rasa nyeri yang dirasakan pada saat itu. Penilaian dilakukan pada saat pasien diam, digerakkan secara pasif dan aktif oleh terapis.
b. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan luas gerak sendi dengan menggunakan goniometer. Pada ankle meliputi gerakan dorsi fleksi, plantar fleksi, eversi, dan inversi.
Posisi netral untuk gerakan dorsi fleksi adalah sesuai dengan posisi anatomis kaki. Gerakan pada ankle terjadi pada bidang sagital dan axis gerakannya pada bidang frontal yaitu pada malleolus lateralis. Dalam melakukan pemeriksaan as goniometer diletakkan 15 cm dari malleolus lateralis. Tangkai statis sejajar dengan axis longitudinal tulang tibia sedangkan tangkai dinamis sejajar dengan axis longitudinal tulang metatarsal V (Russe, 1975).
c. Anthropometri
Pengukuran lingkar segmen tubuh sangat penting dalam pemeriksaan ada tidaknya pembengkakan. Alat ukur yang digunakan adalah midline. Pada prinsipnya pengukuran lingkar anggota gerak dilakukan dengan menggunakan patokan yaitu tuberositas tibiae sampai malleolus lateralis. Selain itu dilakukan pengukuran panjang tungkai dari SIAS sampai malleolus medialis. Pengukuran lingkar segmen yang mengalami oedem perlu dilakukan, kemudian dibandingkan antara tungkai yang sakit dengan tungkai yang sehat.
d. Pemeriksaan aktivitas fungsional
Untuk menilai perkembangan aktivitas fungsional dari pasien pada saat sebelum dan sesudah pemberian terapi latihan, terapis dapat melihat perkembangan pasien mulai dari jongkok, berdiri dan berjalan. Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran aktivitas fungsional yaitu menggunakan skala Jette. Aktivits yang dites meliputi berdiri dari posisi duduk, berjalan 15 m dan naik turun tangga 3 trap. Keterangan penilaian (1) nyeri, berkaitan dengan derajat nyeri saat melakukan aktivitas, (2) kesulitan, berkaitan dengan deajat kesulitan untuk malaukan aktivitas, (3) ketergantungan, berkaitan dengan derajat ketergantungan untuk melakukan aktivitas. Dalam menilai masing – masing dimensi yaitu dengan menggunakan pilihan ganda yang masing – masing dimensi dibagi menjadi 4 skala untuk dimensi nyeri dan 5 skala untuk dimensi kesulita dan ketergantungan ( Jette AM, 1980 dikutip oleh Slamet, 2000 ).
TABEL I
SKALA JETTE
Bentuk aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Berjalan 15 meter Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Naik turun tangga Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4:nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
(Slamet Parjoto, 2000)
5. Diagnosa Fisioterapi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dimungkinkan terjadi gangguan impairment yaitu (1) oedem pada tungkai bawah dan ankle, (2) nyeri karena oedem dan luka incisi, (3) keterbatasan LGS ankle. Sedangkan gangguan yang terjadi pada functional limitation yaitu penurunan ambulasi dan perawatan diri yaitu adanya keterbatasan dalam aktivitas fungsional tungkai bawah. Pada disability gangguan yang terjadi yaitu adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar yang berupa berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.
B. Tujuan Fisioterapi
Pada kasus ini terapi yang diberikan bertujuan untuk (1) mengurangi oedem, (2) mengurangi nyeri, (3) menigkatkan luas gerak sendi pada ankle, (4) mengajarkan latihan jalan pada pasien sehingga dengan diberikannya terapi latihan ini diharapkan pasien dapat kembali beraktivitas seperti semula.
C. Rencana Pelaksanaan Terapi
1. Breathing exercise
Breathing exercise yang dilakukan adalah deep breathing exercise. Deep breathing exercise ini dilakukan dengan posisi pasien tidur terlentang. Pelaksanaannya dengan cara pasien diminta untuk menghirup nafas dalam melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut secara perlahan. Dimulai setelah pasien sadar dari tindakan operasi, biasanya satu atau dua hari setelah operasi. Gerakan ini dilakukan 4 – 6 kali.
2. Static contraction
Tujuan dari static contraction adalah untuk mengurangi oedem sehingga nyeri berkurang. Posisi pasien pada hari pertama masih tidur terlentang dengan disertai kaki yang sakit dielevasikan antara 30 - 45˚ selama 10 – 15 menit, dengan posisi terapis berada disamping penderita. Terapis meletakkan tangannya dibawah betis pasien, kemudian pasien diminta menekan tangan terapis ke bed. Kemudian tangan terapis diletakkan pada pergelangan kaki pasien, pasien diminta untuk menekan tangan terapis. Gerakan dilakukan 5 -10 kali hitungan diselingi dengan menarik nafas dalam untuk rileksasi, gerakan ini diulang 4 kali.
3. Passive exercise
a. Rileks passive movement
Tujuan dari latihan ini yaitu mencegah terjadinya keterbatasan gerak. Latihan dilakukan secara hati – hati pada hari pertama post operasi dengan posisi awal pasien terlentang dimana pergelangan kaki pada tungkai yang sakit tersangga dengan baik oleh bed. Posisi terapis homolateral pada ankle yang dilatih. Satu tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki, tangan yang lain memegang tumit. Posisi pasien rileks, penguluran diawali pada sendi ankle kemudian dilanjutkan gerakan dorsi fleksi dan plantar fleksi secara bergantian.
b. Force passive movement
Tujuan dari latihan ini adalah untuk meningkatkan lingkup gerak sendi pergelangan kaki. Latihan diberikan beberapa hari setelah operasi. Tehnik pelaksanaan sama dengan rileks passive movement tetapi pada akkhir gerakan diberikan penekanan. Gerakan dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
4. Free active movement
Tujuan dilakukannya free active movement adalah untuk memelihara luas gerak sendi. Latihan dilakukan pada sendi pergelangan kaki, jari-jari pada kedua tungkai. Serta pasien bebas melakukan gerakan sendiri tanpa bantuan. Posisi pasien tidur terlentang atau bisa juga dengan duduk. Pada sendi pergelangan kaki dengan melakukan gerakan dorsal - plantar fleksi, inverse - eversi dan pada jari - jari kaki dengan melakukan gerakan fleksi - ekstensi, adduksi - abduksi. Gerakan ini dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
5. Hold relax
Tujuan dari latihan adalah untuk menambah luas gerak sendi pergelangan kaki, mengurangi nyeri dan rileksasi otot. Posisi awal pasien tidur terlentang sementara terapis di samping bed. Salah satu tangan terapis fiksasi lutut pasien dan tangan satunya diletakkan diatas ankle. Gerakan dilakukan secara aktif maupun pasif pada pola agonis hingga batas keterbatasan gerak pasien dimana nyeri mulai timbul. Pola gerak keterbatasan untuk gerak fleksi adalah fleksi – adduksi – eksorotasi dan fleksi – abduksi – endorotasi. Sedangkan untuk keterbatasan gerak ekstensi adalah ekstensi – abduksi – endorotasi dan ekstensi – adduksi – eksorotasi. Terapis memberi tahanan yang meningkat secara perlahan. Kemudian terapis memberi aba-aba "pertahankan disini", kemudian diikuti rileksasi pada pola antagonisnya kemudian digerakkan secara aktif maupun pasif kearah antagonis. Gerakan ini dilakukan 5 - 8 kali pengulangan (Yulianto Wahyono, 2002).
6. Latihan jalan
Dari posisi pasien duduk ongkang-ongkang ( high sitting ), tungkai yang sehat turun dengan kedua tangan berpegangan pada bed. Sedang tungkai yang sakit mengikuti turun dengan disangga tangan terapis tanpa menapak pada lantai. Sebagai awal latihan jalan terapis dapat melatih pasien dengan walker jika pasien sudah lanjut usia dan dengan menggunakan kruk jika pasien masih relatif muda atau keseimbangan pasien masih baik dengan dibantu terapis, pasien berdiri dengan kaki menggantung atau Non Weight Bearing (NWB) dengan 2 kruk pada hari ketiga dengan threepoint gait metode swing to kemudian ditingkatkan dengan Partial Weight Bearing (PWB) jika sudah terjadi pembentukan callus kurang lebih dalam jangka waktu 2 atau 3 minggu. Dosis awal latihan 30% menumpu berat badan lalu ditingkatkan menjadi 80% menumpu berat badan dan ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight Bearing.
7. Edukasi
Bila pasien sudah pulang, terapis bisa memberikan program latihan yang harus dilakukan dan memberikan penjelasan tentang aktivitas yang harus dihindari agar tidak terjadi refraktur. Salah satunya pasien harus melaksanakan program latihan yang diberikan oleh terapis untuk mengembalikan kemampuan fungsional pasien, seperti menggerakkan anggota tubuh untuk mencegah kekakuan dan atrofi otot, mengelevasikan kaki bila terasa nyeri, menghindari penumpuan berat badan berlebih pada tungkai yang mengalami fraktur. Dan yang terpenting adalah melatih kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari – hari sehingga tidak selalu tergantung dengan orang lain.
D. Rencana Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan terapi pada kondisi paska operasi fraktur cruris 1/3 distal dilakukan dengan 2 tahap yaitu evaluasi sebelum pelaksanaan terapi dan sesudah diberikannya terapi yang terakhir. Evaluasi ini meliputi (1) oedem dengan menggunakan midline dan dibandingkan dengan sisi yang sehat, (2) nilai tentang derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale (VAS), (3) luas gerak sendi pada ankle dengan menggunakan goniometer dan membandingkan dengan luas gerak sendi normal, (4) kemampuan fungsional jalan dengan melihat perkembangan dari penggunaan alat bantu jalan dan pola jalan dengan menggunakan skala Jette.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition, Churchill Livingstone.
Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley; Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Basmaijan, John, 1978; Theraupetic Exercise; Third edition, The William and Wilknis Baltimore, London.
Daniels and Wortinghams, 1995; Muscle Testing; Sixth edition, W. B Saunders Company, USA.
Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita Fraktur Cruris; RSO Dr. Soeharso Surakarta.
Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik; Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
Gartland, John, 1974; Fundamental of Orthopedics; Second edition, W. B. Sanders Company, Philadelpia.
Kapandji, I. A, 1987; The Physiologi of the Joint; 2nd edition, Churchill Livingstone, Edinburg, London, and New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar